MUHAMMAD SUHAILY BLOG

Selasa, 19 Mei 2015

SAHABAT MAHASISWA penelitian hadis



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Hadits merupakan sumber hukum utama yang ke dua setelah Al-Qur’an yang di gunakan sebagai rujukan bagi umat islam dalam memecahkan permasalahan yang timbul di tengah umat, sebagaimana sabda rasulullah saw yana artinya “ Telah aku tinggalkan dua perkara yang apabila kalian berpegang teguh pada keduanya kalian tidak akan tersesat yaitu Al-Quran dan Al-Hadits ”.(HR.Malik)
Sebagai umat islam, hadis harus ditaati dan diamalkan dalam segala aspek kehidupan, baik dalam urusan ibadah, muamalah, maupun persoalan hukum. Hal ini sesuai dengan perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman dan telah tiadanya rasulullah, banyak orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang mencoba membuat hadis-hadis palsu ( Maudhu’ ) yang mengatas namakan Rasulullah demi kepentngan pribadi, baik untuk kepentingan ekonomi, politik, bahkan untuk misi menghancurkan agama islam.
Hal ini tentu saja menimbulkan kehawatiran umat islam dalam menjadikan hadis sebagai rujukan, terlebih lagi bagi masyarakat awam yang tidak memilki pengetahuan yang mendalam mengenai hadis sahih ataupun hadis palsu, sehingga sangat urgen bagi para ulama dalam memilih dan memilah hadis yang maqbul dan yang mardud.
Berdasarkan uraian permasalahan diatas, melalui makalah ini penulis akan mencoba menguraikan dan menjelaskan secara spesifik mengenai  hal-hal yang berkaitan dengan Hadis, agar mahasiswa dan masyarakat pada umumnya memilki pengetahuan serta mampu memilih hadis yang sahih untuk dijadikan sebagai rujukan sehingga bisa terhindar dari hadis-hadis dhaif terlebih hadis palsu yang bisa menyimpang dari hakikat kebenaran agama islam.



B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uaraian latar belakang diatas, maka muncul rumusan masalah yaitu sebagai berikut:
1.      Apa pengertian Hadis ?
2.      Bagaimana Bentuk-bentuk Hadis ?
3.      Apa saja Unsur-unsur pokok Hadis ?
4.      Bagaimana kualifikasi hadis dari segi kualitas dan kuantitas Rawi?
5.      Apa itu hadis Maudhu’ ?
C.Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut :
1.      Mengetahui pengertian hadis
2.      Mengetahui bentuk-bentuk hadis
3.      Mengetahui unsur-unsur dalam hadis
4.      Mengetahui  kualifikasi hadis dari segi kualitas dan kuantitas Rawi
5.      Mengetahui terkait hadis Maudhu’



BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadis
        Hadits menurut bahasa Al-Jadiid yang artinya sesuatu yang baru[1]. Sedangkan menurut istilah, para ahli memberikan definisi yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya.Seperti pengertian hadis menurut ahli hadis dan ahli ushul.
        Menurut ahli hadis, pengertian hadis yaitu:
Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan ihwalnya.[2]
Jika melihat pengertian hadis diatas, maka cakupan hadis sangat luas karena  bukan hanya sekedar perkataan atau perbuatan beliau saja yang disebut hadis, akan tetapi segala yang berkaitan dengan hal ihwal Nabi saw.
        Menurut para ulama Ushul Fiqh pengertian hadis yaitu :
Hadits adalah pekataan, perbuatan, dan ketetapan rasulullah saw yang berkaitan dengan hukum[3].”
        Berdasarkan pengertian hadis dari ulama ushul diatas, hadis adalah perkataan, perbuatan, dan ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau syara’ atau ketentuan Allah yang di syariatkan kepada manusia. Ini berarti bahwa ulama ushul membedakan antara diri Muhammad saw sebagai rasul dan manusia biasa dan hanya terbatas pada perkataan, perbuatan atau ketetapan dan tidak termasuk kebiasaan, karakteristik, cara makan, cara tidur dan sebagainya yang  biasa dilakukan oleh manusia biasa.
        Sehingga dapat dikatakan bahwa pengertian hadis yang diberikan oleh ahli hadis lebih luas cakupannya jika dibandingkan dengan pengertian yang di berikan oleh ulama ushul.



B.     Unsur-Unsur Pokok Hadis
Ada beberapa unsur yang terdapat dalam hadis yang harus ada yaitu sebagai berikut:
1.      Sanad
Sanad secara harfiah berarti “sandaran” atau sesuatu yang dijadikan sandaran. Menurut istilah sanad adalah silsilah orang-orang yang meriwayatkan hadis, yang menyampaikannya kepada matan hadis.
Ada pengertian lain juga menyebutkan sanad adalah silsilah para perawi yang menukilkan hadis dari sumber yang pertama. Atau kalau penulis menyebutnya sebagai jalan menuju matan.
2.      Matan
Matan secara harfiah berarti tanah yang meninggi. Sedangkan secara istilah yaitu “Suatu kalimat tempat berakhirnya sanad”. Atau dengan kata lain matan merupakan perkataan nabi atau isi hadis atau redaksi hadis itu sendiri.
3.      Rawi
Kata rawi berarti orang yang meriwayatkan hadis. Yang membedakan antara sanad dan rawi adalah pada pembukuan atau pentadwinan hadis. Orang yang menerima hadis dan kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin, disebut sebagai rawi. Dengan demikian perawi dapat disebut sebagai mudawwin. ( Munzier Suparta, 2011:47).
Ketiga unsur di atas harus ada dan merupakan sesuatu yang ter integrasi yang tidak dapat di pisahkan atau tidak ada dalam sebuah hadis.






C. Bentuk-Bentuk Hadis
        Ada beberapa bentuk hadis (Munzier Suparta, 2011: 18-22) yaitu :
1.      Hadis Qauli
        Yaitu segala yang disandarkan kepada Nabi berupa perkataan atau ucapan yang memuat tentang  aqidah, syari’ah, akhlak, maupun yang lainnya.
Contoh hadis qauli :
لَاَصَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأ بِفَاتِحَةِ الْكِتَاب
Artinya:
Tidak ada sah shalat tanpa membaca fatihah al-kitab” (HR.Muslim)
2.      Hadis Fi’li
        Yaitu segala yang disandarkan kepada Nabi saw berupa perbuatan. Contoh hadis fi’li yaitu hadis tentang shalat yang artinya “ Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat “(HR. al-Tarmidzi)
3.      Hadis Taqriri
        Yaitu segala yang disandarkan kepada Nabi berupa ketetapan Nabi terhadap apa yang datang dari para sahabatnya.
Contoh hadis ini yaitu sikap rasulullah saw membiarkan para sahabat melaksanakan perintahnya, sesuai dengan penafsiran para sahabat terhadap sabdanya yang berbunyi:
لَا يُصَلّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ اِلّا فِى بَنِيْ قُرَيْظَةَ (رواه البخارى)
Artinya:
“ Janganlah seorangpun shalat Ashar kecuali di Bani Quraidzah “
        Sebagian sahabat memahami larangan tersebut berdasarkan pada hakikat perintah tersebut, sehingga mereka tidak melaksanakan shalat Ashar pada waktunya.Sedang segolongan sahabat lainnya memahami perintah tersebut perlunya segera menuju Bani Quraidzah dan jangan santai dalam peperangan, sehingga bisa shalat tepat pada waktunya. Sikap para sahabat ini dibiarkan oleh Nabi saw tanpa ada yang disalahkan atau diingkarinya.

4.      Hadis Hammi
        Yaitu berupa hasrat Nabi saw yang belum terealisasikan, seperti halnya hasrat berpuasa pada tanggal 9 Asyura’. Sabda Rasulullah saw yang artinya “ Ketika Nabi saw berpuasa pada hari Asyura’ dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: Ya Rasulullah hari ini adalah hari yang di agungkan oleh orang yahudi dan nasrani. Nabi bersabda: Tahun yang akan datang, insyaAllah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan “( HR. Muslim ) (Munzier Suparta, 2011: 22).
        Kemudian Nabi meninggal sebelum sempat melaksanakan puasa asyura’ hari kesembilan. Menurut imam Syafi’i menjalankan hadis hammi ini disunahkan seperti halnya sunnah yang lain.
5.      Hadis Ahwali
        Yaitu hadis yang berupa hal ihwal Nabi saw yang menyangkut keadaan fisik, sifat dan kepribadiannya. Sebagaimana di katakana oleh al-Barra’ dalam sebuah hadis riwayat Bukhari yang artinya:
“ Rasulullah adalah manusia yang sebaik-baik rupa dan tubuh. Keadaan fisiknya tidak tinggi dan tidak pendek.[4]
        Kemudian di hadis lain yang di riwayatkan oleh Bukhari yang artinya:
“ Berkata Anas bin Malik : Aku belum pernah memegang sutra murni dan sutra berwarna ( yang halus ) sehalus telapak tangan Rasulullah saw juga belum pernah mencium wewangian seharum Rasulullah saw.
( HR. Bukhari).[5]
        Dan masih banyak lagi hadis yang menggambarkan hal ihwal Rasulullah saw.



D. Kualifikasi Hadis dari Segi Kualitas dan Kuantitas Rawi
        Sebelum melihat hadis dari segi kualitas dan kuantitas rawi ada beberapa pengelompokan hadis yang dilakukan oleh para ulama yang  secara garis besar dapat di kelompokan menjadi  dua yaitu:
1.      Hadis Maqbul
        Yaitu hadis yang diterima sebagai hujjah karena memenuhi kriteria hadis shahih dan hadis hasan.
2.      Hadis Mardud
        Yaitu hadis yang di tolak karena tidak memenuhi syarat atau sebagian syarat hadis maqbul. Ketidak terpenuhinya syarat bisa terletak pada sanad, matan atau rawinya.
a.      Kualifikasi Hadis dari Segi Kualitas Rawi
            Dari segi kualitas rawi atau tingkatan hadis, Ulama hadis Muta’akhkhirin seperti misalnya Ibnu al-Shalah (w.1245M) dan al-Nawawi (w.1277M) membagi hadis menjadi tiga yaitu hadis Shahih, Hasan dan Dha’if.[6]
1.      Hadis Shahih
a)      Pengertian
        Menurut al- Suyuthi hadis Shahih yaitu “ Hadis yang bersanbung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabit, tidak syaz dan tidak berillat “
        Menurut al-Hakim hadis shahih yaitu “ hadis yang memenuhi 5 kriteria yaitu musnad ( bersambung sanadnya ), rawinya Adil dan Dhabit, tidak syaz, dan tidak berillat.[7]
b)      Syarat-syarat hadis Shahih
        Berdasrkandua  pengertian hadis diatas, dapat di identifikasi syarat-syarat hadis shahih yaitu sebagai berikut:

1)      Sanadnya Bersambung
        Yang dimaksud dengan sanadnya bersambung yaitu setiap perawi dalam sanad hadis menerima riwayat dari erawi terdekat sebelumnya. Artinya rangkaian perawi hadis shahih sejak dari perawi terahir sampai kepada perawi pertama (sahabat) yang menerima hadis langsung dari Nabi saw, bersambung perawinya.
2)      Perawinya Adil
        Seorang perawi harus orang yang adil karena dalam meriwayatkan hadis tidak boleh ada kesalahan penyimpangan yang dilakukan. Ada beberapa kriteria perawi dikatakan adil (Munzier Suparta, 2011:131) yaitu:
a)      Senantiasa melaksanakan perintah agama dan meninggalkan semua larangannya.
b)      Senantiasa menjauhi perbuatan-perbuatan dosa kecil; dan
c)      Senantiasa memelihara ucapan dan perbuatan yang dapat menodai Muru’ah, yakni suatu sikap kehati-hatian dari melakukan perbuatan yang sia-sia atau perbuatan dosa.
3)      Perawinya Dhabit
        Secara bahasa dhabit berarti yang kokoh, yang kuat , yang hafal dengan sempurna. Ibnu Hajar al-Asqalani menerangkan bahwa perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap apa yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja manakala di perlukan.
        Itu artinya bahwa seseorang yang dikatakan dhabit harus mampu menyampaikan kembali dengan baik apa yang didengarnya sesuai dengan riwayat yang pernah ia dengar serta mengerti makna dari hadis tersebut.
        Ada dua kategori ke-dhabitan seseorang dalam periwayatan yaitu “dhabit fi al-shadr” yaitu terpeliharanya periwayatan dalam ingatan, sejak ia menerima hadis sampai meriwayatkannya kepada orang lain.
        Dan dhabit fi al-kitab yaitu terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan. artinya seorang perawi mampu menjaga ke aslian catatannya tanpa adanya sisipan dan mampu menyampaikannya kepada orang lain dengan baik dan benar.
4)      Tidak Syaz (janggal)
        Tidak syaz artinya disini adalah hadis yang matannya tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat.
5)      Tidak ber-illat
        Secara bahasa illat memiliki makna cacat, penyakit, keburukan dan kesalahan baca.
Secara istilah illat berarti suatu sebab yang tersembunyi atau yang samar-samar, karenanya dapat merusak ke shahihan hadis tersebut.
        Kalau melihat pengertian secara bahasa dan istilah diatas, maka yang disebut hadis ber-illat adalah hadis yang ada cacat baik pada sanad maupun matan.
        Sedangkan yang dimaksud dengan tidak ber-illat adalah hadis yang didalamnya tidak terdapat cacat,  kesamaran dan keragu-raguan.



c)      Macam-macam hadis Shahih
        Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua macam yaitu:[8]
1)      Shahih Li dzatihi, yaitu hadis yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, yaitu syarat yang lima disebutkan diatas.
2)      Shahih Li Ghairihi, yaitu hadis yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari sebuah hadis maqbul dan menjadi hadis shahih karena adanya hadis lain yang sama yang statusnya lebih shahih.
        Hal itu bisa terjadi karena ada beberapa hal, misalnya perawinya sudah diketahui adil tapi dari sisi ke dhabitan lemah. Hadis ini menjadi shahih karena ada hadis lain yang sama atau sepadan (redaksinya) diriwayatkan melalui jalur lain yang setingkat atau malah lebih shahih.
        Contohnya yaitu hadis yang menerangkan mengenai bersiwak,yang di riwayatkan oleh Muhammad bin Amradalah yang terkensl adhil, jujur tapi lemah di dhabit, mulanya statusnya hadis hasan li dzatihi naik menjadi hadis shahih Li ghairihikarena adanya riwayat lain yang lebih tsiqah seperti haadis yang di riwayatkan oleh Bukhari melalui al-A’raj.
        Sebagai catatan bahwa hanya hadis hasan li-dzatihi yang bisa baik menjadi shahih li-ghairihi.
2.      Hadis Hasan
a)      Pengetian
        Al-Tarmizi sebagai ahli hadis yang memunculkan istilah hadis hasan karena ia banyak melihat hadis dha’if yang tidak terlalu dha;if, sanad dan matannya hampir mendekati shahih tapi tidak shahih dan dapat dijadikan hujjah. Dia tidak ingin menyebutnya dengan hadis dha’if juga hadis Shahih maka dari itu dia memunculkan istilah hadis Hasan.Sehingga hadis hasan merupakan hadis dha’if yang dapat dijadikan hujjah.
        Menurut ibnu Hajar dalam bukunya Munzier Suparta (2011:144), hadis Hasan adalah“khabar yang du nukilkan melalui perawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya dengan tanpa illat dan syaz  disebut hadis shahih, namun bila kekuatan ingatannya kurang kokoh di sebut hasan Li-dzatihi.”
        Dari pengertian diatas penulis menyimpulkan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi syarat hadis shahih akan tetapi ke  dhabit-an perawinya di bawah ke dhabitan hadis shahih.
b)      Syarat-syarat Hadis Hasan
Adapun syarat-syarat hadis hasan yaitu sebagai berikut:[9]
1)      Sanadnya bersambung.
2)      Perawinya adhil.
3)      Perawinya dhabit, tapi kualitas ke dhabita-nnya di bawah hadis shahih.
4)      Tidak Syaz
5)      Tidak ber-illat
c)      Macam-macam Hadis Hasan
        Sepertinya hadis shahih, hadis hasan juga terbagi menjadi dua macam yaitu:
1)      Hasan Li-Dzatihi
        Hadis hasan lidzatihi merupakan hadis yang memenuhi kriteria hadis shahih akan tetapi perbedaannya hanya pada kualitas dhabit perawinya. Hadis ini bisa berubah menjadi shahih Li-Ghairihi apa bila ada hadis lain yang serupa yang di riwayatkan melalui jalur lain yang lebih shahih seperti contoh yang dibahas pada pembahasan sebelumnya.
2)      Hasan Li-Ghairihi
        Hadis ini muncul dari hadis dha’if yang banak periwayatannya tidak diketahui keahliannya dalam meriwayatkan hadis, akan tetapi tidak sampai pada derajat fasik atau tertuduh suka berdusta atau sifat jelek lainnya.
d)     Kehujjahan Hadis Hasan
Mengenai kehujjahan hadis hasan ini, jumhur ulama mengatakan kehujjahannya seperti hadis shahih, meskipun derajatnya tidak sama. Ada juga ulama yang mengatakan hadis hasan ini baik yang hasan li-dzatihi maupun yang li-ghairihi kedalam kelompok shahih seperti Hakim, ibnu Hibban, ibnu Khuzaimah, meski tanpa penjelasan terlebih dahulu.
Adapun kitab-kitab yang yang banyak memuat hadis hasan ini yaitu seperti Sunan Al-Tarmidzi, Sunan Abi Daud, dan sunan Al-Daruquthny.
3.      Hadis Dha’if
a)      Pengertian
        Secara bahasa dhaif berarti lemah.Sedangkan menurut istilah ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ulama.
        Menurut al-Nawawi, hadis dha’if adalah “ hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan hadis hasan “
        Sedangkan menurut Nur al-Din ‘Itr hadis dha’if adalah “ Hadis yang hilang salah satu syaratnya dari hadis maqbul (hadis shahih dan hadis hasan) “
Dari kedua pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya disebut hadis dha’if karena tidak memenuhi kriteria sebagai hadis shahih dan hasan baik dari segi sanad maupun kualitas perawinya.
b)      Kehujjahan Hadis Dha’if
Pada dasarnya ulama hadis menolak kehujjahan hadis dha’if. ulama hadis berpendirian bahwa agama tidak dapat didasarkan pada dalil yang lemah dan meragukan karena berkaitan dengan keyakinan atau kepercayaan yang fundamental. Namun ada perbedaan mengenai kehujjahan hadis dha’if, ada yang menolak secara mutlak dan ada juga yang menerima kehujjahan hadis dha’if.
Diantara ulama yang menolak hadis dha’if secara mutlak yaitu imam Bukhari (w.870M), imam Muslim (w.875), Abu Bakar ibnu Arabi (1148), dan Ali bin Hazm (w.848M). mereka berpendapat bahwasanya hadis dha’if tidak bias dijadikan rujukan baik dalam penetapan hukum, maupun penetapan keutamaan amal.
Sementara itu ulama yang membolehkan beramal dengan hadis dha’if yaitu seperti Imam Abu Hanifah, Al-Nasa’I, Abu Daud. Mereka berpendapat bahwa mengamalkan hadis dha’if ini lebih di sukai dibandingkan mendasarkan pendapatnya pada akal pikiran ataupun qiyas (Munzier Suparta, 2011:172).
Sebagian ulama menyatakan bahwa Ahmad bin Hambal, abd al-Rahman bin Mahdi (w.797M) berpendapat bahwa hadis dhaif dapat dijadikan hujjah untuk keutamaan amal. Menurut penjelasan ulama’ hadis dha’if yang mereka maksud adalah hadis hasan menurut ulama zaman at-Turmudzi. Karena berdasarkan penjelasan ibnu Taimiyah yang menyatakan jenis hadis sebelum zaman Turmudzi ada dua yaitu : hadis shahih dan hadis dha’if. Sementara setelah zaman Turmudzi baru pengelompokan hadis menjadi tiga yaitu hadis shahih, hasan dan dha’if. Sehingga yang disebut sebagai hadis dha’if yang bisa di jadikan rujukan oleh Ahmad bin Hambal menurut penjelasan ibnu Taimiyah merupakan hadis hasan menurut pengertian hadis pada zaman at-Turmudzi (H.M.Syuhudi Ismail, 1995: 56).
Jika melihat penjelasan ibnu Taimiyah diatas mengenai pendapat Ahmad bin Hambal terkait hadis dha’if, penulis menyimpulkan bahwa pada dasarnya Ahmad bin Hambal juga menolak hadis dha’if berdasarkan criteria setelah masa Turmudzi, hanya saja terjadi perbedaan mengenai definitif  hadis dha’if pada masa beliau dengan masa setelah at-Turmudzi hal ini karena sebelum masa at-Turmudzi jenis hadis hanya ada dua yaitu hadis shahih dan hadis hasan sementara setelah at-Turmudzi jenis hadis dibedakan menjadi tiga yaitu hadis shahih, hasan, dan dha’if.
Sebagian Ulama berpendapat bahwa hadis dha’if dapat dijadikan hujjah dengan syarat sebagai berikut:
1)      Kandungan hadis tersebut berkenaan dengan kisah, nasihat, keutamaan, dan sejenisnya, serta tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah swt, tafsir ayat al-Quran, hukum halal, haram dan yang semacamnya.
2)      Kedha;ifan hadis yang bersangkutan tidak parah.
3)      Ada dalil lain yang lebih kuat atau memenuhi syarat yang menjadi dasar pokok bagi hadis tersebut.
4)      Amal yang dilakukan tidak diniatkan atas dasar petunjuk hadis dha’if tersebut, tapi diniatkan atas dasar kehati-hatian (ihtiyat).[10]
Dari persyaratan diatas yang begitu ketat, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kehujjahan hadis dha’if di tolak oleh para ulama karena hal ini sangat relevan melihat agama merupakan sesuatu yang sangat fundamental yang tidak dapat digantungkan pada dalil-dalil yang lemah yang masih terdapat keraguan padanya.
b.      Kualifikasi Hadis dari Segi Kuantitas Rawi
Berdasarkan kuantitas rawi yang meriwayatkan suatu hadis, hadis dapat di bedakan menjadi :
1)      Hadis Mutawatir
Menurut al-Baghdadi, hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dengan jumlah tertentu yang menurut kebiasaan mustahil mendustakan kesaksiannya.
Mengenai jumlah perawi ada perbedaan pendapat. Menurut Al-Qadi’ Al-Baqillani sekurang-kurangnya 5 orang, dia mengqiyaskan berdasarkan jumlah nabi ulul azmi. Sementara Al-Isthakhary menetapkan paling kurang 10 orang, sebab 10 merupakan awal bilangan banyak. Ada juga yang mengatakan 12 orang, berlandaskan surah al-ma’idah: 12, ada yang 20 orang (Qs.Al-Anfal: 65), ada yang 40 orang (QS.Al-Anfal: 63), dan ada yang 70 berdasarkan (QS. Al-A’raf: 155).
Al-Hakim memberi contoh hadis ini yaitu yang artinya:
Sesungguhnya dusta itu tidak layak dilakukan, baik sungguh-sungguh maupun hanya kelakar belaka
2)      Hadis Ahad
Secara istilah yang di definisikan oleh par ulama yaitu khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai batasan jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah hadis mutawatir (Munzier Suparta, 2011: 108).
            Jumhur ulama sepakat bahwa beramal dengan hadis ahad yang telah memenuhi ketentuan maqbul hukumnya wajib. Abu Hanifah menetapkan syarat tsiqah dan adil bagi perawinya.
Hadis ahad dibagi dua yaitu: hadis masyhur dan hadis gairu masyhur. Hadis masyhur yaitu yang sudah terkenal di kalangan kebanyakan orang. Contohnya yaitu hadis mengenai menuntut ilmu “ Thalabul ilmi faridatun ala- kullimuslimin wamuslimatin “.
Sementara Hadis Ghairu Masyhur oleh ulama ahli hadis dibagi dua golongan yaitu Aziz dan Gharib.
E. Hadis Maudhu’
a.       Pengertian
Secara bahasa merupakan isim maful dari wadha’a- yadha’u-wadh’an yang berarti al-isqath (meletakkan atau menyimpan), al-iftira’ wa al-ikhtilaq (mengada-ada atau membuat-buat), dan al-tarqu (ditinggal) (Munzier Suparta, 2011:176).
Secara istilah pengertian hadis Maudhu’ adalah hadis yang disandarkan kepada rasulullah saw, secara di buat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, berbuat ataupun metapkannya.
b.      Latar belakang munculnya hadis Maudhu’
Ada beberapa hal yang melatar belakangi muncul hadis-hadis palsu di tengah masyarakat (Munzier Suparta, 2011:181) yaitu:
1)      Politik
Hal ini banyak terjadi pada zaman khulafaurasyidin tepatnya pada kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Demi kepentingan politik, banyak orang-orang yang memanfaatkan dalil agama untuk membenarkan tindakan mereka bahkan sampai mengatas namakan rasulullah saw. Terlebih lagi kondisi politik saat itu terjadi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mua’wiyah, dimana banyak pendukung fanatik mereka membuat hadis palsu yang mengatas namakan rasulullah demi kepentingan politik mereka.
Contoh hadis palsu yang dibuat oleh golongan syi’ah antara lain:
ياَ على اِنّ الله غَفَرَ لَكَ وَلِذٌرِّيَتِكَ ولوَالِديكَ وَلِاَهْلِكَ ولِشِيْعَتِكَ  ولِمُحِبِّي شِيعتكَ
Artinya:
“Wahai Ali, sesungguhnya Allah swt telah mengampunimu, keturunanmu, kedua orang tuamu, keluargamu, golongan syi’ah mu, dan orang-orang yang mencintai goongan syia’ahmu.
2)      Usaha Kaum Zindik
Kaum zindik yaitu golongan yang membenci islam, baik sebagai agama maupun sebagai pemegang pemerintahan. Mereka selalu berusaha menjatuhkan islam bahkan dengan memalsukan hadis. Contoh hadisnya yaitu:
النظرُ الى الوجه ِاْلجَمِيْل صَدَقِةٌ
Artinya:
“Melihat wajah cantiktermasuk shadaqah”
3)      Fanatik terhadap bangsa, suku, negeri, bahasa, dan pimpinan.
Latar belakang pemalsuan hadis banyak diakibatkan rasa fanatic atau karena ingin mengagungkan bahasa mereka (primordialisme) supaya lebih mencolok dibandingkan yang lain. Contohnya yaitu golongan Syu’ubiyah yang fanatik pada bahasa persi yang mengatakan:
انّ الله اذَا غَضَب انْزَل الْوَحْيَ بالعربِيَّةِ واذا رَضِيَ انزل الوحيَ بالفَارِسِيَّةِ
Artinya:
“Apabila Allah murka, maka Dia menurunkan wahyu dengan bahasa arab dan apabila senang maka menunkan wahyu dengan bahasa persi.”
4)      Membangkitkan gairah beribadat, tanpa mengerti apa yang dilakukan.
Al-Khail seorang yang zuhud membuat hadis palsu mengenai keutamaan wirid dengan niat menghaluskan qalbu manusia.
Jika kita melihat latar belakang diatas, dapat dismpulkan bahwa ada motivasi yang mendorong seseorang untuk membuat hadis palsu yaitu niat positif dan negatif. Namun bagaimanapun juga penyebaran hadis palsu yang mengatas namakan Rasulullah itu tidak di perbolehkan.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di bab II diatas, dapat disimpulkan bahwasanya hadis merupakan segala yang disandarkan kepada Nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan beliau yang menjadi sumber hukum kedua bagi umat islam.
Terdapat beberapa jenis hadis yang dibedakan berdasarkan kualitas dan kuantitas perawinya seperti hadis shahih, hasan, dha’if, mutawatir, dan ahad yang memiliki perbedaan mengenai kehujjahannya dalam dijadikan sebagai landasan dalam beribadah, muamalah dan lain sebagainya.
Dalam menggunakan hadis sebagai rujukan, perlu adanya kehati-hatian dalam menentukan hadis untuk di jadikan rujukan karena banyak oknum yang tidak bertanggung jawab yang mencoba untuk menghancurkan islam dengan membuat hadis-hadis palsu (Maudhu’) dengan berbagai latar belakang seperti: kepentingan politik, ekonomi, bahkan yang paling berbahaya yaitu misi untuk menghancurkan islam.
Hal ini sangat relevan dengan melihat banyaknya contoh-contoh hadis palsu yang tercantum di Bab II diatas dan masih banyak lagi hadis-hadis palsu yang beredar di masyarakat yang jauh bahkan bertentangan dari hakikat kebenaran islam.
Ini harus menjadi perhatian yang serius bagi para ulama’ untuk membedakan hadis-hadis yang maqbul dan mardud agar masyarakat memiliki sumber-sumber hadis shahih supaya tidak salah dalam mengambil hadis sebagai rujukan.
Demikianlah uraian mengenai seluk-beluk hadis Nabi saw, semoga dengan makalah ini, makin banyak pengetahuan yang dapat diambil demi memudahkan dalam memilih hadis yang shahih dalam menjadikannya sebagai rujukan.


DAFTAR PUSTAKA

H. Abudin Nata,metodologi studi islam,(Jakarta: rajawali pers, 1998)
H.M.Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya( Jakarta: Gema Insani Press, 1995)
M, Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits (Ijtihad al-Hakim dalam menentukan Status Hadits ) (Jakarta: Paramadina, 2000)
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2011)



KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, petunjuk serta karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul Penelitian Hadis. Adapun makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam.
Penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada teman satu tim dan husus kepada Bapak Dosen yang telah membimbing kami sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya.
Kami sebagai penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan kekliruan, oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun serta dapat dijadikan bahan perbaikan untuk tulisan-tulisan kami yang akan datang.
Kami berharap semoga makalah ini dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya serta untuk menambah pembendaharaan pengetahuan dalam memahami hadis-hadis rasulullah saw.
Semoga bantuan, dorongan serta bimbingan yang telah diberikan kepada kami dalam  penyusunan makalah ini mendapat balasan dari Allah SWT. Amiin.






DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
A.    Latar Belakang.......................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah..................................................................................... 2
C.     Tujuan Penulisan....................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 3
A.    Pengertian Hadis....................................................................................... 3
B.     Unsur-Unsur Hadis................................................................................... 4
C.     Bentuk-Bentuk Hadis............................................................................... 5
D.    Kualifikasi Hadis dari Segi Kualitas dan Kuantitas Rawi........................ 7
E.     Hadis Maudhu’....................................................................................... 16
BAB III PENUTUP.......................................................................................... 19
KESIMPULAN................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 20










                                                                                                                    



MAKALAH
METODOLOGI STUDI ISLAM
(Penelitian Hadis)











OLEH
KELOMPOK II
KLS IV/B

MUHAMMAD SUHAILI
:
151 136 048
LALU NURUL HUDA
:
151 136 048
AWALUDIN
:
151 136 048
YASMINA
:
151 136 0
IIS MIATIN
:
151 136 0


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
JURUSAN PENDIDIKAN IPS-EKONOMI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MATARAM
TA.2015


[1] Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2011), halm.1
[2]H.M.Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya( Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 49
[3]H. Abudin Nata,metodologi studi islam,(Jakarta: rajawali pers, 1998), hlm 234

[4] Munzir Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 22
[5]Ibid, hlm. 23
[6] H.M.Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut......( Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 53
[7] M, Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits (Ijtihad al-Hakim dalam menentukan Status Hadits ) (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 185
[8]Munzir Suparta, Ilmu hadis (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 134
[9]Ibid, hlm. 145
[10] H.M.Syuhudi Ismail, Hadits Nabi ,……….( Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 57