BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Hadits
merupakan sumber hukum utama yang ke dua setelah Al-Qur’an yang di gunakan
sebagai rujukan bagi umat islam dalam memecahkan permasalahan yang timbul di
tengah umat, sebagaimana sabda rasulullah saw yana artinya “ Telah aku tinggalkan dua perkara yang
apabila kalian berpegang teguh pada keduanya kalian tidak akan tersesat yaitu
Al-Quran dan Al-Hadits ”.(HR.Malik)
Sebagai umat
islam, hadis harus ditaati dan diamalkan dalam segala aspek kehidupan, baik
dalam urusan ibadah, muamalah, maupun persoalan hukum. Hal ini sesuai dengan
perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Akan tetapi,
seiring dengan perkembangan zaman dan telah tiadanya rasulullah, banyak
orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang mencoba membuat hadis-hadis palsu
( Maudhu’ ) yang mengatas namakan Rasulullah demi kepentngan pribadi,
baik untuk kepentingan ekonomi, politik, bahkan untuk misi menghancurkan agama
islam.
Hal ini tentu
saja menimbulkan kehawatiran umat islam dalam menjadikan hadis sebagai rujukan,
terlebih lagi bagi masyarakat awam yang tidak memilki pengetahuan yang mendalam
mengenai hadis sahih ataupun hadis palsu, sehingga sangat urgen bagi para ulama
dalam memilih dan memilah hadis yang maqbul dan yang mardud.
Berdasarkan
uraian permasalahan diatas, melalui makalah ini penulis akan mencoba
menguraikan dan menjelaskan secara spesifik mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Hadis, agar mahasiswa
dan masyarakat pada umumnya memilki pengetahuan serta mampu memilih hadis yang
sahih untuk dijadikan sebagai rujukan sehingga bisa terhindar dari hadis-hadis
dhaif terlebih hadis palsu yang bisa menyimpang dari hakikat kebenaran agama
islam.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan uaraian latar belakang diatas, maka muncul rumusan
masalah yaitu sebagai berikut:
1.
Apa
pengertian Hadis ?
2.
Bagaimana
Bentuk-bentuk Hadis ?
3.
Apa
saja Unsur-unsur pokok Hadis ?
4.
Bagaimana
kualifikasi hadis dari segi kualitas dan kuantitas Rawi?
5.
Apa
itu hadis Maudhu’ ?
C.Tujuan
Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan penulisan makalah ini
yaitu sebagai berikut :
1.
Mengetahui
pengertian hadis
2.
Mengetahui
bentuk-bentuk hadis
3.
Mengetahui
unsur-unsur dalam hadis
4.
Mengetahui kualifikasi hadis dari segi kualitas dan
kuantitas Rawi
5.
Mengetahui
terkait hadis Maudhu’
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hadis
Hadits menurut bahasa Al-Jadiid yang artinya sesuatu yang baru[1]. Sedangkan
menurut istilah, para ahli memberikan definisi yang berbeda-beda sesuai dengan
latar belakang disiplin ilmunya.Seperti pengertian hadis menurut ahli hadis dan
ahli ushul.
Menurut ahli hadis,
pengertian hadis yaitu:
“ Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan ihwalnya.”[2]
Jika melihat pengertian hadis diatas, maka cakupan hadis sangat
luas karena bukan hanya sekedar
perkataan atau perbuatan beliau saja yang disebut hadis, akan tetapi segala
yang berkaitan dengan hal ihwal Nabi saw.
Menurut para ulama
Ushul Fiqh pengertian hadis yaitu :
“Hadits adalah pekataan, perbuatan, dan ketetapan rasulullah saw
yang berkaitan dengan hukum[3].”
Berdasarkan pengertian
hadis dari ulama ushul diatas, hadis adalah perkataan, perbuatan, dan ketetapan
yang berhubungan dengan hukum atau syara’ atau ketentuan Allah yang di
syariatkan kepada manusia. Ini berarti bahwa ulama ushul membedakan antara diri
Muhammad saw sebagai rasul dan manusia biasa dan hanya terbatas pada perkataan,
perbuatan atau ketetapan dan tidak termasuk kebiasaan, karakteristik, cara
makan, cara tidur dan sebagainya yang
biasa dilakukan oleh manusia biasa.
Sehingga dapat
dikatakan bahwa pengertian hadis yang diberikan oleh ahli hadis lebih luas cakupannya
jika dibandingkan dengan pengertian yang di berikan oleh ulama ushul.
B.
Unsur-Unsur
Pokok Hadis
Ada beberapa unsur yang terdapat dalam hadis yang harus ada yaitu sebagai
berikut:
1. Sanad
Sanad secara harfiah berarti “sandaran”
atau sesuatu yang dijadikan sandaran. Menurut istilah sanad adalah
silsilah orang-orang yang meriwayatkan hadis, yang menyampaikannya kepada matan
hadis.
Ada pengertian lain juga menyebutkan sanad adalah silsilah para
perawi yang menukilkan hadis dari sumber yang pertama. Atau kalau penulis
menyebutnya sebagai jalan menuju matan.
2. Matan
Matan secara harfiah berarti tanah yang meninggi. Sedangkan secara istilah
yaitu “Suatu kalimat tempat berakhirnya
sanad”. Atau dengan kata lain matan merupakan perkataan nabi atau isi hadis
atau redaksi hadis itu sendiri.
3. Rawi
Kata rawi berarti orang yang meriwayatkan hadis. Yang membedakan
antara sanad dan rawi adalah pada pembukuan atau pentadwinan
hadis. Orang yang menerima hadis dan kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab
tadwin, disebut sebagai rawi. Dengan demikian perawi dapat disebut sebagai
mudawwin. ( Munzier Suparta, 2011:47).
Ketiga unsur di atas harus ada dan merupakan sesuatu yang ter integrasi
yang tidak dapat di pisahkan atau tidak ada dalam sebuah hadis.
C. Bentuk-Bentuk
Hadis
Ada beberapa bentuk
hadis (Munzier Suparta, 2011: 18-22) yaitu :
1.
Hadis
Qauli
Yaitu segala yang disandarkan kepada
Nabi berupa perkataan atau ucapan yang memuat tentang aqidah, syari’ah, akhlak, maupun yang
lainnya.
Contoh hadis
qauli :
لَاَصَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأ بِفَاتِحَةِ الْكِتَاب
Artinya:
“Tidak ada sah shalat tanpa membaca fatihah al-kitab”
(HR.Muslim)
2.
Hadis
Fi’li
Yaitu segala yang disandarkan kepada
Nabi saw berupa perbuatan. Contoh hadis fi’li yaitu hadis tentang shalat yang
artinya “ Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat “(HR.
al-Tarmidzi)
3.
Hadis
Taqriri
Yaitu segala yang disandarkan kepada
Nabi berupa ketetapan Nabi terhadap apa yang datang dari para sahabatnya.
Contoh hadis
ini yaitu sikap rasulullah saw membiarkan para sahabat melaksanakan
perintahnya, sesuai dengan penafsiran para sahabat terhadap sabdanya yang
berbunyi:
لَا يُصَلّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ اِلّا فِى بَنِيْ قُرَيْظَةَ (رواه
البخارى)
Artinya:
“ Janganlah
seorangpun shalat Ashar kecuali di Bani Quraidzah “
Sebagian sahabat memahami larangan
tersebut berdasarkan pada hakikat perintah tersebut, sehingga mereka tidak
melaksanakan shalat Ashar pada waktunya.Sedang segolongan sahabat lainnya
memahami perintah tersebut perlunya segera menuju Bani Quraidzah dan jangan
santai dalam peperangan, sehingga bisa shalat tepat pada waktunya. Sikap para
sahabat ini dibiarkan oleh Nabi saw tanpa ada yang disalahkan atau
diingkarinya.
4.
Hadis
Hammi
Yaitu berupa hasrat Nabi saw yang belum
terealisasikan, seperti halnya hasrat berpuasa pada tanggal 9 Asyura’. Sabda
Rasulullah saw yang artinya “ Ketika Nabi saw berpuasa pada hari Asyura’ dan
memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: Ya Rasulullah hari
ini adalah hari yang di agungkan oleh orang yahudi dan nasrani. Nabi bersabda:
Tahun yang akan datang, insyaAllah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan
“( HR. Muslim ) (Munzier Suparta, 2011: 22).
Kemudian Nabi meninggal sebelum sempat
melaksanakan puasa asyura’ hari kesembilan. Menurut imam Syafi’i menjalankan
hadis hammi ini disunahkan seperti halnya sunnah yang lain.
5.
Hadis
Ahwali
Yaitu hadis yang berupa hal ihwal Nabi
saw yang menyangkut keadaan fisik, sifat dan kepribadiannya. Sebagaimana di
katakana oleh al-Barra’ dalam sebuah hadis riwayat Bukhari yang artinya:
“ Rasulullah
adalah manusia yang sebaik-baik rupa dan tubuh. Keadaan fisiknya tidak tinggi
dan tidak pendek.[4]”
Kemudian di hadis lain yang di
riwayatkan oleh Bukhari yang artinya:
“ Berkata Anas
bin Malik : Aku belum pernah memegang sutra murni dan sutra berwarna ( yang
halus ) sehalus telapak tangan Rasulullah saw juga belum pernah mencium
wewangian seharum Rasulullah saw.
( HR. Bukhari).[5]
Dan masih banyak lagi hadis yang
menggambarkan hal ihwal Rasulullah saw.
D.
Kualifikasi Hadis dari Segi Kualitas dan Kuantitas Rawi
Sebelum melihat hadis dari segi kualitas
dan kuantitas rawi ada beberapa pengelompokan hadis yang dilakukan oleh para
ulama yang secara garis besar dapat di
kelompokan menjadi dua yaitu:
1.
Hadis
Maqbul
Yaitu hadis yang diterima sebagai hujjah
karena memenuhi kriteria hadis shahih dan hadis hasan.
2.
Hadis
Mardud
Yaitu hadis yang di tolak karena tidak
memenuhi syarat atau sebagian syarat hadis maqbul. Ketidak terpenuhinya syarat
bisa terletak pada sanad, matan atau rawinya.
a.
Kualifikasi
Hadis dari Segi Kualitas Rawi
Dari segi kualitas
rawi atau tingkatan hadis, Ulama hadis Muta’akhkhirin seperti misalnya
Ibnu al-Shalah (w.1245M) dan al-Nawawi (w.1277M) membagi hadis menjadi tiga
yaitu hadis Shahih, Hasan dan Dha’if.[6]
1.
Hadis
Shahih
a)
Pengertian
Menurut al- Suyuthi hadis Shahih yaitu “
Hadis yang bersanbung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi
dhabit, tidak syaz dan tidak berillat “
Menurut al-Hakim hadis shahih yaitu “ hadis
yang memenuhi 5 kriteria yaitu musnad ( bersambung sanadnya ), rawinya Adil dan
Dhabit, tidak syaz, dan tidak berillat.[7]
b)
Syarat-syarat
hadis Shahih
Berdasrkandua pengertian hadis diatas, dapat di identifikasi
syarat-syarat hadis shahih yaitu sebagai berikut:
1)
Sanadnya
Bersambung
Yang dimaksud dengan sanadnya bersambung
yaitu setiap perawi dalam sanad hadis menerima riwayat dari erawi terdekat
sebelumnya. Artinya rangkaian perawi hadis shahih sejak dari perawi terahir
sampai kepada perawi pertama (sahabat) yang menerima hadis langsung dari Nabi
saw, bersambung perawinya.
2)
Perawinya
Adil
Seorang perawi harus orang yang adil
karena dalam meriwayatkan hadis tidak boleh ada kesalahan penyimpangan yang
dilakukan. Ada beberapa kriteria perawi dikatakan adil (Munzier Suparta, 2011:131)
yaitu:
a)
Senantiasa
melaksanakan perintah agama dan meninggalkan semua larangannya.
b)
Senantiasa
menjauhi perbuatan-perbuatan dosa kecil; dan
c)
Senantiasa
memelihara ucapan dan perbuatan yang dapat menodai Muru’ah, yakni suatu sikap
kehati-hatian dari melakukan perbuatan yang sia-sia atau perbuatan dosa.
3)
Perawinya
Dhabit
Secara bahasa dhabit berarti yang
kokoh, yang kuat , yang hafal dengan sempurna. Ibnu Hajar al-Asqalani
menerangkan bahwa perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap
apa yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan
saja manakala di perlukan.
Itu artinya bahwa seseorang yang
dikatakan dhabit harus mampu menyampaikan kembali dengan baik apa yang
didengarnya sesuai dengan riwayat yang pernah ia dengar serta mengerti makna
dari hadis tersebut.
Ada dua kategori ke-dhabitan seseorang
dalam periwayatan yaitu “dhabit fi al-shadr” yaitu terpeliharanya
periwayatan dalam ingatan, sejak ia menerima hadis sampai meriwayatkannya
kepada orang lain.
Dan dhabit fi al-kitab yaitu
terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan. artinya seorang
perawi mampu menjaga ke aslian catatannya tanpa adanya sisipan dan mampu
menyampaikannya kepada orang lain dengan baik dan benar.
4)
Tidak
Syaz (janggal)
Tidak syaz artinya disini adalah hadis
yang matannya tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat.
5)
Tidak
ber-illat
Secara bahasa illat memiliki
makna cacat, penyakit, keburukan dan kesalahan baca.
Secara istilah illat
berarti suatu sebab yang tersembunyi atau yang samar-samar, karenanya dapat
merusak ke shahihan hadis tersebut.
Kalau melihat pengertian secara bahasa
dan istilah diatas, maka yang disebut hadis ber-illat adalah hadis yang
ada cacat baik pada sanad maupun matan.
Sedangkan yang dimaksud dengan tidak
ber-illat adalah hadis yang didalamnya tidak terdapat cacat, kesamaran dan keragu-raguan.
c)
Macam-macam
hadis Shahih
Para ulama hadis membagi hadis shahih
menjadi dua macam yaitu:[8]
1)
Shahih
Li dzatihi, yaitu hadis
yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna,
yaitu syarat yang lima disebutkan diatas.
2)
Shahih
Li Ghairihi, yaitu hadis
yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari sebuah hadis
maqbul dan menjadi hadis shahih karena adanya hadis lain yang sama yang statusnya
lebih shahih.
Hal itu bisa terjadi karena ada beberapa
hal, misalnya perawinya sudah diketahui adil tapi dari sisi ke dhabitan
lemah. Hadis ini menjadi shahih karena ada hadis lain yang sama atau sepadan
(redaksinya) diriwayatkan melalui jalur lain yang setingkat atau malah lebih
shahih.
Contohnya yaitu hadis yang menerangkan
mengenai bersiwak,yang di riwayatkan oleh Muhammad bin Amradalah yang terkensl
adhil, jujur tapi lemah di dhabit, mulanya statusnya hadis hasan li
dzatihi naik menjadi hadis shahih Li ghairihikarena adanya riwayat
lain yang lebih tsiqah seperti haadis yang di riwayatkan oleh Bukhari melalui
al-A’raj.
Sebagai catatan bahwa hanya hadis
hasan li-dzatihi yang bisa baik menjadi shahih li-ghairihi.
2.
Hadis
Hasan
a)
Pengetian
Al-Tarmizi sebagai ahli hadis yang
memunculkan istilah hadis hasan karena ia banyak melihat hadis dha’if
yang tidak terlalu dha;if, sanad dan matannya hampir mendekati shahih tapi
tidak shahih dan dapat dijadikan hujjah. Dia tidak ingin menyebutnya dengan
hadis dha’if juga hadis Shahih maka dari itu dia memunculkan istilah hadis
Hasan.Sehingga hadis hasan merupakan hadis dha’if yang dapat
dijadikan hujjah.
Menurut ibnu Hajar dalam bukunya Munzier
Suparta (2011:144), hadis Hasan adalah“khabar yang du nukilkan melalui
perawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya dengan tanpa illat
dan syaz disebut hadis shahih, namun
bila kekuatan ingatannya kurang kokoh di sebut hasan Li-dzatihi.”
Dari pengertian diatas penulis
menyimpulkan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi syarat hadis shahih
akan tetapi ke dhabit-an
perawinya di bawah ke dhabitan hadis shahih.
b)
Syarat-syarat
Hadis Hasan
Adapun
syarat-syarat hadis hasan yaitu sebagai berikut:[9]
1)
Sanadnya
bersambung.
2)
Perawinya
adhil.
3)
Perawinya
dhabit, tapi kualitas ke dhabita-nnya di bawah hadis shahih.
4)
Tidak
Syaz
5)
Tidak
ber-illat
c)
Macam-macam
Hadis Hasan
Sepertinya hadis shahih, hadis hasan
juga terbagi menjadi dua macam yaitu:
1)
Hasan
Li-Dzatihi
Hadis hasan lidzatihi merupakan hadis yang memenuhi kriteria hadis shahih akan tetapi
perbedaannya hanya pada kualitas dhabit perawinya. Hadis ini bisa
berubah menjadi shahih Li-Ghairihi apa bila ada hadis lain yang serupa
yang di riwayatkan melalui jalur lain yang lebih shahih seperti contoh yang
dibahas pada pembahasan sebelumnya.
2)
Hasan
Li-Ghairihi
Hadis ini muncul dari hadis dha’if yang
banak periwayatannya tidak diketahui keahliannya dalam meriwayatkan hadis, akan
tetapi tidak sampai pada derajat fasik atau tertuduh suka berdusta atau sifat
jelek lainnya.
d)
Kehujjahan
Hadis Hasan
Mengenai
kehujjahan hadis hasan ini, jumhur ulama mengatakan kehujjahannya seperti hadis
shahih, meskipun derajatnya tidak sama. Ada juga ulama yang mengatakan hadis
hasan ini baik yang hasan li-dzatihi maupun yang li-ghairihi
kedalam kelompok shahih seperti Hakim, ibnu Hibban, ibnu Khuzaimah,
meski tanpa penjelasan terlebih dahulu.
Adapun
kitab-kitab yang yang banyak memuat hadis hasan ini yaitu seperti Sunan
Al-Tarmidzi, Sunan Abi Daud, dan sunan Al-Daruquthny.
3.
Hadis
Dha’if
a)
Pengertian
Secara bahasa dhaif berarti
lemah.Sedangkan menurut istilah ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh
para ulama.
Menurut al-Nawawi, hadis dha’if adalah “
hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan hadis
hasan “
Sedangkan menurut Nur al-Din ‘Itr hadis
dha’if adalah “ Hadis yang hilang salah satu syaratnya dari hadis maqbul
(hadis shahih dan hadis hasan) “
Dari kedua pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya
disebut hadis dha’if karena tidak memenuhi kriteria sebagai hadis shahih
dan hasan baik dari segi sanad maupun kualitas perawinya.
b)
Kehujjahan
Hadis Dha’if
Pada
dasarnya ulama hadis menolak kehujjahan hadis dha’if. ulama hadis berpendirian
bahwa agama tidak dapat didasarkan pada dalil yang lemah dan meragukan karena
berkaitan dengan keyakinan atau kepercayaan yang fundamental. Namun ada
perbedaan mengenai kehujjahan hadis dha’if, ada yang menolak secara mutlak dan
ada juga yang menerima kehujjahan hadis dha’if.
Diantara
ulama yang menolak hadis dha’if secara mutlak yaitu imam Bukhari
(w.870M), imam Muslim (w.875), Abu Bakar ibnu Arabi (1148), dan Ali bin Hazm
(w.848M). mereka berpendapat bahwasanya hadis dha’if tidak bias dijadikan
rujukan baik dalam penetapan hukum, maupun penetapan keutamaan amal.
Sementara
itu ulama yang membolehkan beramal dengan hadis dha’if yaitu seperti
Imam Abu Hanifah, Al-Nasa’I, Abu Daud. Mereka berpendapat bahwa mengamalkan
hadis dha’if ini lebih di sukai dibandingkan mendasarkan pendapatnya pada akal
pikiran ataupun qiyas (Munzier Suparta, 2011:172).
Sebagian
ulama menyatakan bahwa Ahmad bin Hambal, abd al-Rahman bin Mahdi (w.797M)
berpendapat bahwa hadis dhaif dapat dijadikan hujjah untuk keutamaan amal.
Menurut penjelasan ulama’ hadis dha’if yang mereka maksud adalah hadis hasan
menurut ulama zaman at-Turmudzi. Karena berdasarkan penjelasan ibnu Taimiyah
yang menyatakan jenis hadis sebelum zaman Turmudzi ada dua yaitu : hadis shahih dan hadis dha’if. Sementara setelah zaman Turmudzi baru pengelompokan
hadis menjadi tiga yaitu hadis shahih,
hasan dan dha’if. Sehingga yang
disebut sebagai hadis dha’if yang bisa di jadikan rujukan oleh Ahmad bin Hambal
menurut penjelasan ibnu Taimiyah merupakan hadis hasan menurut pengertian hadis
pada zaman at-Turmudzi (H.M.Syuhudi Ismail, 1995: 56).
Jika
melihat penjelasan ibnu Taimiyah diatas mengenai pendapat Ahmad bin Hambal
terkait hadis dha’if, penulis menyimpulkan bahwa pada dasarnya Ahmad bin Hambal
juga menolak hadis dha’if berdasarkan criteria setelah masa Turmudzi, hanya
saja terjadi perbedaan mengenai definitif
hadis dha’if pada masa beliau dengan masa setelah at-Turmudzi hal ini
karena sebelum masa at-Turmudzi jenis hadis hanya ada dua yaitu hadis shahih dan hadis hasan sementara setelah at-Turmudzi jenis hadis dibedakan menjadi
tiga yaitu hadis shahih, hasan, dan
dha’if.
Sebagian
Ulama berpendapat bahwa hadis dha’if dapat dijadikan hujjah dengan syarat
sebagai berikut:
1)
Kandungan
hadis tersebut berkenaan dengan kisah, nasihat, keutamaan, dan sejenisnya,
serta tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah swt, tafsir ayat al-Quran, hukum
halal, haram dan yang semacamnya.
2)
Kedha;ifan
hadis yang bersangkutan tidak parah.
3)
Ada
dalil lain yang lebih kuat atau memenuhi syarat yang menjadi dasar pokok bagi
hadis tersebut.
4)
Amal
yang dilakukan tidak diniatkan atas dasar petunjuk hadis dha’if tersebut, tapi
diniatkan atas dasar kehati-hatian (ihtiyat).[10]
Dari
persyaratan diatas yang begitu ketat, maka dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya kehujjahan hadis dha’if di tolak oleh para ulama karena hal ini sangat
relevan melihat agama merupakan sesuatu yang sangat fundamental yang tidak
dapat digantungkan pada dalil-dalil yang lemah yang masih terdapat keraguan
padanya.
b.
Kualifikasi
Hadis dari Segi Kuantitas Rawi
Berdasarkan
kuantitas rawi yang meriwayatkan suatu hadis, hadis dapat di bedakan menjadi :
1)
Hadis
Mutawatir
Menurut
al-Baghdadi, hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok
orang dengan jumlah tertentu yang menurut kebiasaan mustahil mendustakan
kesaksiannya.
Mengenai
jumlah perawi ada perbedaan pendapat. Menurut Al-Qadi’ Al-Baqillani
sekurang-kurangnya 5 orang, dia mengqiyaskan berdasarkan jumlah nabi ulul azmi. Sementara Al-Isthakhary
menetapkan paling kurang 10 orang, sebab 10 merupakan awal bilangan banyak. Ada
juga yang mengatakan 12 orang, berlandaskan surah al-ma’idah: 12, ada yang 20
orang (Qs.Al-Anfal: 65), ada yang 40 orang (QS.Al-Anfal: 63), dan ada yang 70
berdasarkan (QS. Al-A’raf: 155).
Al-Hakim memberi
contoh hadis ini yaitu yang artinya:
“Sesungguhnya dusta itu tidak layak
dilakukan, baik sungguh-sungguh maupun hanya kelakar belaka”
2)
Hadis
Ahad
Secara
istilah yang di definisikan oleh par ulama yaitu khabar yang jumlah perawinya tidak
mencapai batasan jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawi itu satu, dua,
tiga, empat, lima dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah
perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah hadis mutawatir (Munzier Suparta,
2011: 108).
Jumhur ulama sepakat bahwa beramal
dengan hadis ahad yang telah memenuhi ketentuan maqbul hukumnya wajib. Abu
Hanifah menetapkan syarat tsiqah dan adil bagi perawinya.
Hadis
ahad dibagi dua yaitu: hadis masyhur
dan hadis gairu masyhur. Hadis masyhur yaitu yang sudah terkenal
di kalangan kebanyakan orang. Contohnya yaitu hadis mengenai menuntut ilmu “ Thalabul ilmi faridatun ala- kullimuslimin
wamuslimatin “.
Sementara Hadis Ghairu Masyhur oleh ulama ahli
hadis dibagi dua golongan yaitu Aziz
dan Gharib.
E.
Hadis Maudhu’
a. Pengertian
Secara
bahasa merupakan isim maful dari wadha’a-
yadha’u-wadh’an yang berarti al-isqath
(meletakkan atau menyimpan), al-iftira’
wa al-ikhtilaq (mengada-ada atau membuat-buat), dan al-tarqu (ditinggal) (Munzier Suparta, 2011:176).
Secara
istilah pengertian hadis Maudhu’ adalah hadis yang disandarkan kepada
rasulullah saw, secara di buat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan,
berbuat ataupun metapkannya.
b.
Latar
belakang munculnya hadis Maudhu’
Ada
beberapa hal yang melatar belakangi muncul hadis-hadis palsu di tengah
masyarakat (Munzier Suparta, 2011:181) yaitu:
1)
Politik
Hal
ini banyak terjadi pada zaman khulafaurasyidin tepatnya pada kepemimpinan Ali
bin Abi Thalib. Demi kepentingan politik, banyak orang-orang yang memanfaatkan
dalil agama untuk membenarkan tindakan mereka bahkan sampai mengatas namakan
rasulullah saw. Terlebih lagi kondisi politik saat itu terjadi pertentangan
antara Ali bin Abi Thalib dengan Mua’wiyah, dimana banyak pendukung fanatik
mereka membuat hadis palsu yang mengatas namakan rasulullah demi kepentingan
politik mereka.
Contoh
hadis palsu yang dibuat oleh golongan syi’ah antara lain:
ياَ على اِنّ الله غَفَرَ لَكَ وَلِذٌرِّيَتِكَ ولوَالِديكَ وَلِاَهْلِكَ
ولِشِيْعَتِكَ ولِمُحِبِّي شِيعتكَ
Artinya:
“Wahai Ali, sesungguhnya Allah swt telah mengampunimu, keturunanmu,
kedua orang tuamu, keluargamu, golongan syi’ah mu, dan orang-orang yang
mencintai goongan syia’ahmu.
2) Usaha Kaum Zindik
Kaum zindik yaitu golongan yang membenci islam,
baik sebagai agama maupun sebagai pemegang pemerintahan. Mereka selalu berusaha
menjatuhkan islam bahkan dengan memalsukan hadis. Contoh hadisnya yaitu:
النظرُ الى الوجه ِاْلجَمِيْل صَدَقِةٌ
Artinya:
“Melihat wajah cantiktermasuk shadaqah”
3) Fanatik terhadap bangsa, suku, negeri,
bahasa, dan pimpinan.
Latar belakang pemalsuan hadis banyak diakibatkan
rasa fanatic atau karena ingin mengagungkan bahasa mereka (primordialisme)
supaya lebih mencolok dibandingkan yang lain. Contohnya yaitu golongan
Syu’ubiyah yang fanatik pada bahasa persi yang mengatakan:
انّ الله اذَا غَضَب انْزَل الْوَحْيَ
بالعربِيَّةِ واذا رَضِيَ انزل الوحيَ بالفَارِسِيَّةِ
Artinya:
“Apabila Allah murka, maka Dia menurunkan wahyu dengan bahasa arab dan
apabila senang maka menunkan wahyu dengan bahasa persi.”
4) Membangkitkan gairah beribadat, tanpa
mengerti apa yang dilakukan.
Al-Khail seorang yang zuhud membuat hadis palsu
mengenai keutamaan wirid dengan niat menghaluskan qalbu manusia.
Jika kita melihat latar belakang diatas, dapat dismpulkan bahwa ada
motivasi yang mendorong seseorang untuk membuat hadis palsu yaitu niat positif
dan negatif. Namun bagaimanapun juga penyebaran hadis palsu yang mengatas
namakan Rasulullah itu tidak di perbolehkan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di bab II diatas, dapat
disimpulkan bahwasanya hadis merupakan segala yang disandarkan kepada Nabi saw
baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan beliau yang menjadi sumber
hukum kedua bagi umat islam.
Terdapat beberapa jenis hadis yang dibedakan
berdasarkan kualitas dan kuantitas perawinya seperti hadis
shahih, hasan, dha’if, mutawatir, dan ahad yang memiliki perbedaan mengenai
kehujjahannya dalam dijadikan sebagai landasan dalam beribadah, muamalah dan
lain sebagainya.
Dalam menggunakan hadis sebagai rujukan, perlu
adanya kehati-hatian dalam menentukan hadis untuk di jadikan rujukan karena
banyak oknum yang tidak bertanggung jawab yang mencoba untuk menghancurkan
islam dengan membuat hadis-hadis palsu (Maudhu’) dengan berbagai latar belakang
seperti: kepentingan politik, ekonomi, bahkan yang paling berbahaya yaitu misi
untuk menghancurkan islam.
Hal ini sangat relevan dengan melihat banyaknya
contoh-contoh hadis palsu yang tercantum di Bab II diatas dan masih banyak lagi
hadis-hadis palsu yang beredar di masyarakat yang jauh bahkan bertentangan dari
hakikat kebenaran islam.
Ini harus menjadi perhatian yang serius bagi para
ulama’ untuk membedakan hadis-hadis yang maqbul dan mardud agar masyarakat memiliki sumber-sumber
hadis shahih supaya tidak salah dalam mengambil hadis sebagai rujukan.
Demikianlah uraian mengenai seluk-beluk hadis Nabi saw, semoga dengan
makalah ini, makin banyak pengetahuan yang dapat diambil demi memudahkan dalam
memilih hadis yang shahih dalam menjadikannya sebagai rujukan.
DAFTAR PUSTAKA
H. Abudin Nata,metodologi studi islam,(Jakarta: rajawali
pers, 1998)
H.M.Syuhudi
Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya(
Jakarta: Gema Insani Press, 1995)
M,
Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits (Ijtihad al-Hakim dalam
menentukan Status Hadits ) (Jakarta: Paramadina, 2000)
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2011)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke
hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, petunjuk serta karunianya,
sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul Penelitian
Hadis. Adapun makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Studi
Islam.
Penulis juga ingin
menyampaikan terimakasih kepada teman satu tim dan husus kepada Bapak Dosen
yang telah membimbing kami sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada
waktunya.
Kami sebagai penulis
menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan
dan kekliruan, oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun serta dapat dijadikan bahan perbaikan untuk tulisan-tulisan kami yang
akan datang.
Kami berharap semoga
makalah ini dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya serta untuk menambah
pembendaharaan pengetahuan dalam memahami hadis-hadis rasulullah saw.
Semoga bantuan,
dorongan serta bimbingan yang telah diberikan kepada kami dalam
penyusunan makalah ini mendapat balasan dari Allah SWT. Amiin.
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR
ISI....................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
A.
Latar
Belakang.......................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah..................................................................................... 2
C.
Tujuan
Penulisan....................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN.................................................................................... 3
A.
Pengertian
Hadis....................................................................................... 3
B.
Unsur-Unsur
Hadis................................................................................... 4
C.
Bentuk-Bentuk
Hadis............................................................................... 5
D.
Kualifikasi
Hadis dari Segi Kualitas dan Kuantitas Rawi........................ 7
E.
Hadis
Maudhu’....................................................................................... 16
BAB
III PENUTUP.......................................................................................... 19
KESIMPULAN................................................................................................ 19
DAFTAR
PUSTAKA...................................................................................... 20
MAKALAH
METODOLOGI STUDI ISLAM
(Penelitian Hadis)
OLEH
KELOMPOK II
KLS IV/B
MUHAMMAD
SUHAILI
|
:
|
151 136 048
|
LALU NURUL
HUDA
|
:
|
151 136 048
|
AWALUDIN
|
:
|
151 136 048
|
YASMINA
|
:
|
151 136 0
|
IIS MIATIN
|
:
|
151 136 0
|
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
JURUSAN PENDIDIKAN IPS-EKONOMI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MATARAM
TA.2015
[1]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2011),
halm.1
[2]H.M.Syuhudi
Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya(
Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 49
[3]H.
Abudin Nata,metodologi studi islam,(Jakarta: rajawali pers, 1998), hlm
234
[4]
Munzir Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011),
hlm. 22
[6]
H.M.Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut......( Jakarta: Gema
Insani Press, 1995), hlm. 53
[7] M,
Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits (Ijtihad al-Hakim dalam
menentukan Status Hadits ) (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 185
[8]Munzir
Suparta, Ilmu hadis (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 134